JAKARTA – Indonesia saat ini tengah memasuki fase aksesi keanggotaan dalam Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). Mengakselerasi hal itu, sebagai penanggung jawab Public Governance Committee, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama beberapa instansi pemerintah membahas penguatan kerangka hukum dan ekonomi nasional.
Staf Ahli Menteri PANRB Bidang Politik dan Hukum sekaligus Plt. Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PANRB Aba Subagja menyampaikan bahwa kegiatan tersebut juga memastikan keselarasan Indonesia berdasarkan peraturan kebijakan dan implementasinya dengan standar internasional yang ditetapkan oleh OECD. Adapun kebijakan tersebut salah satunya dalam bidang tata kelola publik subbidang SDM Aparatur.
“Hal ini bagaimana mendorong keanggotaan Indonesia di OECD, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan dan menjadi bagian penting dari tata kelola publik untuk di Kementerian PANRB khususnya terkait dengan peningkatan kapasitas dan leadership,” ujarnya dalam acara Multi Stakeholder Meeting Proses Aksesi Indonesia ke OECD di Bidang Tata Kelola Publik pada Subbidang SDM Aparatur, di Jakarta, Jumat (06/09).
Lebih lanjut dijelaskan, peningkatan kapasitas dan leadership tersebut inline dengan institusi-institusi lainnya untuk mencapai hal itu. Aba menyampaikan, ada beberapa kebijakan dan regulasi terkait yang akan menjadi pembahasan dalam diskusi tersebut.
Ia memberi contoh, di Undang-Undang ASN yang baru mengatur terkait proses pembelajaran terintegrasi, termasuk beberapa aturan yang mendorong peningkatan kapasitas SDM aparatur. “Terkait hal ini ada peran dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) terkait dengan peningkatan kapasitas SDM, dan dilakukan oleh kementerian-kementerian yang lain, sehingga melalui diskusi ini nanti bisa kita identifikasi gap atau isu lainnya, agar nanti SDM kita akan lebih kompetitif,” ungkapnya.
Sebagai informasi, Kementerian PANRB bersama beberapa instansi lain ditunjuk sebagai penanggung jawab Public Governance Committee. Dalam Public Governance Committee, terdapat 19 legal instrument atau rekomendasi yang perlu dianalisis kesesuaiannya dengan kebijakan yang dimiliki Indonesia.
Adapun langkah penting yang memengaruhi proses aksesi secara langsung adalah penyusunan initial memorandum/legal gap analysis yang nantinya akan dijadikan bahan dasar perbaikan bagi kebijakan Kementerian PANRB.
“Gap ini nanti kalau kita menemukan di instrumen dari regulasinya, praktiknya, kemudian juga termasuk implementasi di masing-masing kementerian/lembaga. Hal ini yang nanti cukup penting untuk kita gali, kami ingin ada kontribusi dari Bapak/Ibu sekalian termasuk dari tim teknis akan menyampaikan bagaimana instrumen nanti harus diisi yang mengarah bagaimana kita membangun kapasitas SDM termasuk kepemimpinannya,” ungkap Aba.
Dalam kesempatan itu, Special Policy and Legal Advisor, Prospera – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Vulkania Neysa Almandine memaparkan terkait persiapan penyusunan initial memorandum proses aksesi OECD Indonesia, Bidang Tata Kelola Publik. Dikatakan, hubungan Indonesia dengan OECD sudah terbangun sejak tahun 2007, dan merupakan salah satu dari lima mitra utama OECD.
Ia menjelaskan, Indonesia telah mengajukan permohonan untuk menjadi anggota OECD, dan menargetkan untuk menyelesaikan proses aksesi dalam waktu tiga tahun. Diungkapkan, ada beberapa nilai tambah yang dapat dirasakan oleh Indonesia dengan menjadi anggota OECD.
Pertama, mendukung target Indonesia Emas 2045 yakni OECD mendukung penyiapan roadmap untuk lepas dari middle-income trap dan menjadi negara berpendapatan per kapita tinggi. “Banyak resource yang bisa kita gunakan untuk mencapai target ini, misalnya OECD ini terdiri dari banyak expert dari berbagai negara, dari berbagai latar belakang ekonomi di berbagai bidang yang bisa Indonesia gunakan untuk policy reform atau policy development saat merancang reform policy yang ada saat itu,” ungkapnya.
Vulkania menambahkan, adapun nilai tambah lainnya yakni terkait informasi-informasi seperti data statistik, dan best practice yang dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan kebijakan Indonesia termasuk target untuk mengembangkan SDM Indonesia, penyetaraan gender, dan program sosial lainnya.
Selain itu, nilai tambah yang dapat digunakan Indonesia dengan menjadi anggota OECD, yaitu bisa menjadi active participants dalam pembuatan kebijakan internasional. “Jadi tidak lagi kita hanya fokus ke penyesuaian dengan sistem yang sudah dibuat sebelumnya karena mungkin itu agak challenging, mungkin terkadang ada policy yang sudah dibuat atau instrumen standar yang ternyata dirasa belum mencakup kepentingan negara berkembang misalnya seperti Indonesia,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, dengan menjadi anggota OECD dan terlibat aktif dalam pengembangan standar, dan instrumen OECD, Indonesia bisa memastikan bahwa standar yang diterapkan di tingkat internasional yang juga mencerminkan kepentingan Indonesia. Untuk diketahui, OECD memiliki 38 anggota yang sebagian besar merupakan negara maju di Eropa. Indonesia akan menjadi negara ketiga di Asia yang bergabung dengan OECD selain Jepang dan Korea Selatan. (fik/HUMAS MENPANRB)