Kali ini logika Rocky Gerung (Rocky) offside. Alur pikir tidak berada pada nalar lazim digunakan untuk menyamakan atau membedakan sesuatu, termasuk keberadaan dua orang. Lihat saja, Rocky menyarankan dengan menyamakan dua sosok yang sama sekali tidak bisa disamakan, dari berbagai aspek. Dalam satu link berita pekan lalu Rocky menyarankan agar Firli Bahuri (Firli) mengikuti jejak Novel Baswedan (Novel) mendaftar sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri. Ini jelas bahwa Rocky belum siuman dari upayanya selalu mengkultuskan Novel sehingga mengorbankan nalar logikanya sendiri. Selain lemah alur logika dan argumentasi, saran Rocky tersebut tidak fair karena menyamakan kedua sosok yang memang tidak sebanding, sehingga sangat disayangkan.
Jauh logis dan produktif, kalau Rocky justru menyampaikan saran kepada Novel agar mengikuti jejak dan berguru kepada Firli menjadi komisioner dan kemudian Ketua KPK yang bekerja keras atas dasar perintah UU Pemberantasan Korupsi dan tidak menarget sesorang untuk diproses di KPK. Singkatnya, Firli tidak pernah melakukan “pilih tebang” di KPK. Ia tidak tunduk pada kekusaan apapun di republik ini dalam melakukan tugas penindakan dan pencegahan korupsi di Indonesia.
Karena itu saran Rocky tersebut, saya pastikan tidak dapat diterma akal sehat. Sebab, persoalan atau perjalanan yang dihadapi Novel tidak bisa disamakan dengan Firli terkait dengan keberadaan keduanya di dalam dan di luar Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK). Salah satu diantaranya, Novel jelas gagal mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi ASN di KPK yang dilakukan secara independen, objektif dan professional oleh lembaga negara di luar KPK.
Penyelenggaraan tes ini sebagai perwujudan pelaksanaan UU, siapapun komisioner KPK, mutlak dilakukan. Tentu, sesuai dengan UU, peserta yang gagal, termasuk Novel, otomatis tidak bisa menjadi ASN di KPK. Merujuk UU, mereka harus hengkang dari KPK.
Tidak lama kemudian pihak Kepolisian berbaik hati menawarkan kepada mereka menjadi ASN di Polri. Ini terobosan baru sangat produktif dari pihak Kepolisian. Tawaran ini, menurut hemat saya, mampu menurunkan tensi polemik di ruang publik dan berhasil tentang tes TWK.
Ada sebagian dari mereka menerima dan yang lainnya menolak. Itu hak hukum mereka sebagai warga negara Indonesia. Setelah melalui prosedur formal yang berlaku sebagian dari mereka ditetapkan menjadi ASN Polri.
Keberadaan mereka sebagai ASN di Polri, suka tidak suka, harus mengikuti budaya kerja, aturan dan UU yang berlaku terkait Kepolisian kita. Mereka harus taat aturan, etika, moral, budaya kerja dan senantiasa siap melaksanakan tugas yang diberikan pimpinannya. Jadi, Novel dan kawan-kawan sebagai ASN di Polri melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh pimpiannya.
Bahkan ditempatkan di manapun oleh pimpinan, termasuk di unit Kepolisian di daerah, mereka mutlak harus menerima dan melakukan. Mereka tidak boleh keluar dari koridor tersebut, sepanjang mereka menjadi ASN Polri. Bisa saja Novel bertugas membantu Polri dalam upaya pencegahan korupsi di suatu daerah terpencil di tanah air, di perbatasan dengan negara lain, misalnya.
Bagaimana dengan Firli? Ia menjadi salah satu komisioner KPK stelah melalui proses sangat ketat, objektif, independen, dan profesional. Sama dengan para calon komisioner KPK yang lainnya, Firli mengikuti berbagai tes yang diselenggarakan oleh sembilan orang Pansel yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Pada proses ini, Firli salah satu yang dinyatakan memenuhi lulus. Kemudian Firli mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR-RI. Hasilnya menakjubkan, Firli dinyatakan lolos. Mereka yang lolos diajukan ke Presiden. Presiden memutuskan, Firli salah satu komisioner KPK dan posisi Ketua KPK dipercayakan di pundak Firli.
Masih segar dalam ingatan publik, saat berlangusung semua tahapan seleksi komisioner KPK, wacana dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu bahwa sedang terjadi pelemahan KPK. Namun Firli tetap mengikuti dengan seksama semua tahapan seleksi hingga dinyatakan dan ditetapkan sebagai salah satu komisioner KPK. Di bawah kepemimpinan Firli, ternyata KPK berhasil melakukan penindakan dan pencegahan dibanding dengan komisioner sebelumnya dengan kurun rentang waktu yang sama.
Menurut catatan saya, satu hal luar biasa dari sosok Firli, setelah lebih dari satu kali mengikuti tes masuk Akademi Polisi (Akpol), baru ia diterima. Ini salah satu bukti valid bahwa Firli memiliki integritas dan kerja keras untuk mencapai posisi tertentu di republik ini. Karena itu, tidak berlebihan, bangsa ini memerlukan sosok Firli-Firli yang lain.
Oleh karena itu, Firli dan Novel, dalam konteks perjalanan karir di luar dan di dalam KPK tidak boleh disamakan atau pun dibedakan. Mereka berdua sosok unik satu dengan lain. Dengan demikian, saran RG di atas dapat terbantahkan dengan sendirinya.
Salam, Feri Rusdiono Ketua umum perkumpulan wartawan online independen nusantara