Makassar,Sulawesi Selatan – Setelah tidak berhasil mencapai target yang ditentukan saat Show Cause Meeting (SCM) III pembangunan proyek pasar Tempe Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Proyek tersebut pun akhirnya Senin 29/11/2021

Pasalnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) itu akhirnya memutus kontrak proyek pembangunan Pasar Tempe dengan PT Delima Agung Utama sebagai pemenang tender pada Proyek Pembangunan Pasar tempe itu.

Pemutusan kontrak ini juga merupakan tindak lanjut dari hasil audit dengan tujuan tertentu (ADTT) Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR melalui surat Inspektur Jenderal Nomor: PW0101-lj/1076 tertanggal 14 September 2021, serta surat Direktur Jenderal Cipta Karya Nomor: PW.0202-Dc/1770 tangal 8 November 2021.

Pemutusan Kontrak pembangunan pasar tempe berspesifikasi Bangunan Gedung Hijau pertama di Indonesia Timur dan digadang – gadang menjadi percontohan nasional ini pun dinyatakan mangkrak.

Menanggapi hal itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sulsel, Kombes Pol Widoni Fedri mengatakan pihaknya pada dasarnya pihaknya bakal turun menyelidiki hal tersebut.

“2022 baru diproses, Pasti (Polda akan turun menyelidiki hal ini,” ucapnya saat dihubungi melalui via telepone, Minggu (28/11/2021).

Sementara itu, Direktur Lembaga Anti Korupsi Sulsel (Laksus), Muh. Ansar mengatakan pada dasarnya pihaknya sangat mendukung dan mengapresiasi atas sikap polda yang menyebutkan bakal turun menyelidiki Proyek pembangunan pasar tempe yang diduga menyalahi spesifikasi.

“Tentunya kami sangat mendukung serta mengapresiasi atas keseriusan Polda guna menyelidiki proyek pembangunan Pasar Tempe ini,” sebutnya.

Menurutnya, Pembagunan Pasar Tempe ini memang disebut tidak melahirkan kerugian Keuangan Negara akan tetapi tertundanya pengerjaan Proyek pada akhir tahun 2021 itu disebut membuat perekomian negara tak berjalan diwilayah tersebut.

“Proyek pasar tempe tidak merugikan negara siapa bilang kami yakin ada kerugian negara yang ditimbulkan, selain itu mangkraknya proyek itu merugikan perekonomian negara, Ada dua akibat dalam pasal tipikor yaitu merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, andaikan proyek ini dikerjakan sesuai RAB tentunya akan sangat membantu bagi ekonomi masyarakat dan perekonomian negara,” pungkasnya.

Untuk itu, Ansar juga meminta Kementerian PUPR melalui Dirjen Cipta Karya segera mengevaluasi kinerja Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah II Sulawesi Selatan.

“Satker PPK Satker Balai Prasarana Permukiman Wilayah II Sulsel harus juga bertanggung jawab, terlebih pelaksana dan konsultan pengawasnya,” tegasnya.

Data yang dihimpun, proyek pembangunan Pasar Tempe merupakan proyek strategis nasional percontohan pertama di kawasan Indonesia Timur.

Pasar ini dibangun dengan menggunakan Dana APBN Rp45.340.239.338,63 dimenangkan PT Delima Agung Utama yang beralamat di Jl Suryalaya XII No 6, Buah Batu Bandung, Jawa Barat.

Pembangunan Pasar Tempe dimaksudkan untuk peningkatan ekonomi kerakyatan, namun lantaran pembangunannya tersendat-sendat, perputaran roda ekonomi ikut terpengaruh, apalagi ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Menanggapi itu, Kontraktor pembangunan Pasar Tempe dalam hal ini PT Delima Agung Utama, kini hanya bisa gigit jari usai kontraknya diputus oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Prasarana Strategis. PT Delima Agung Utama pun melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Tunggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar usai ia diputus kontrak.

Direktur Cabang PT Delima Agung Utama, Amirullah mempertanyakan alasan pemutusan kontraknya ini. Menurut dia kesalahan-kesalahan dalam pemutusan kontrak itu bukanlah berasal dari pengerjaan proyek pasar yang berada di Sengkang, Kabupaten Wajo tersebut, melainkan kesalahan pihak Kementerian PUPR .

“Kenapa kemudian terjadi pemutusan kontrak ini?, saya mengindikasikan bahwa ini dilakukan untuk menyembunyikan kesalahan pihak PUPR saja. Alasannya adalah karena sejak awal produk ini belum sempurna tapi sudah dilelang. Jadi intinya kesalahan PUPR ini, karena ternyata produk ini belum matang kok sudah ditender,” katanya.

Sejak awal, lanjut Amirullah, dirinya memang merasa bahwa banyak kejanggalan ketika pihaknya melakukan panandatanganan kontrak. Saat itu permasalahan internal di PT Delima Agung Utama mencuat dan pihak Kementerian PUPR sempat tidak membiarkan pihak PT Delima Agung Utama untuk melakukan pergantian pejabat di internal perusahaan mereka karena suatu masalah.

Padahal, menurut dia, pergantian pejabat dalam internal perusahaan sah-saja dilakukan lantaran tidak ada aturan mengikat yang melarang hal tersebut. Permasalahan itulah yang kemudian menyebabkan pihak kontraktor sempat terlambat memulai pengerjaan pasar yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp45 miliar tersebut.

“Kami kemudian melobi ke pusat untuk kami diberi kesempatan. Karena persoalan PCM itu ada juga aturannya untuk kami dibolehkan mengganti personel, tapi upaya kami tidak mulus-mulus saja. Hingga akhirnya keluar benang merahnya saat itu bahwa dengan bukti-bukti data yang kami berikan, kami diberikan kesempatan untuk melanjutkan kontrak,” jelasnya.

Setelah persoalan itu kelar, pengerjaan proyek Pasar Tempe pun akhirnya bisa dimulai. Meski sebenarnya telah terjadi keterlambatan yang cukup lama yakni sekitar 6 bulan lamanya. Amir menuturkan bahwa pihaknya melakukan penandatanganan kontrak pada Oktober 2020 sementara pengerjaan baru bisa ia mulai pada April 2021.

“Jadi PT Delima Agung Utama itu berkontrak bulan Oktober tahun 2020, Rp45 miliar di Claro. Nanti baru bisa berjalan proyek ini di bulan April 2021. muncul pertanyaan ada apa kan?,” tuturnya.

Tak berhenti sampai disitu, Amirullah kemudian mengaku bingung lantaran PPK yang pada awalnya melakukan penandatangan kontrak dengan PT Delima Agung Utama pun tiba-tiba diganti. Pergantian PPK itu, aku Amirullah, membawa dampak yang cukup besar dalam proses pengerjaan Pasar Tempe.

“Tapi diperjalanan, PPK diganti dengan PPK yang baru. Jadi bukan PPK yang berkontrak yang kemudian menjalankan itu proyek pembangunan Pasar Tempe, diganti dari pusat. Kami tidak tau alasannya kenapa diganti ini PPK,” ucap dia.

Belakangan, Amirullah mengaku terkejut usai terjadi perubahan konsep dalam pembangunan Pasar Tempe. Perubahan drastis itu terjadi saat pihaknya diminta untuk membangun Pasar Tempe dengan konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH).

“Yang kami sangat terkejut lagi, pada saat kami PCM, tiba-tiba ada omongan yang mengatakan bahwa proyek yang akan kami jalankan ini adalah konsep BGH. Kami kira konsep BGH itu umum-umum saja, tidak terlalu berbeda jauh.Tapi ternyata konsep gambar berubah bahkan hampir di atas 50 persen,” ucapnya.

Perubahan konsep itulah yang kemudian membawa masalah-masalah baru dalam proses pembangunan pasar yang digadang-gadang menjadi percontohan di Indonesia Timur ini. Pasalnya konsep BGH sendiri baru pertama kali di terapkan di luar Pulau Jawa. Apalagi jika dihitung biaya yang dibutuhkan untuk membangun pasar dengan konsep BGH sudah pasti lebih besar jika dibandingkan dengsn pembangunan sebagaimana konsep yang disepakati sejak awal.

Amir mengaku bahwa pihaknya sempat mempertanyakan ihwal perubahan konsep pembangunan Pasar Tempe dari gedung pasar biasa menjadi bangunan gedung hijau. Hingga akhirnya PPK menyarankan untuk melakukan perubahan kontrak atau adendum.

“Jadi kami mempertanyakan ini kok begini. Jadi komunikasinya (dengan PPK) secara lisan saja kalau ada perubahan-perubahan kita adendum saja. Normal lah proyek ada adendum,” imbuhnya.

Dalam perjalanannya, Amirullah mengaku bahwa proyek pengerjaan Pasar Tempe dengan konsep BGH ini ternyata cukup menyulitkan pihak kontraktor. Betapa tidak, banyak item-item hingga bahan yang digunakan itu terpaksa diganti.

“Tapi makin kesini kok saya baru sadar bahwa pekerjaan ini ternyata kami terjebak dalam konsep BGH ini. Contoh semen, seharusnya kami bisa pakai semen SNI seperi Conch, tapi karena ada BGH maka persyaratan penggunaan semen itu selain SNI harus ada ISO 140001-nya, sehingga kami tidak bisa pakai semen Conch lagi, jadi bagaimana kalau habis stok di pasaran, tidak ada di distributor. Maka pasti terlambat lagi pekerjaan dong,” ucap dia.

Selain terjadi perubahan pada bahan yang digunakan dalam proyek Pasar Tempe berkonsep Bangunan Gedung Hijau. Beberapa bagian bangunan juga ternyata berubah. Perubahan-peruabahan itulah yang menyebabkan pihaknya mengalami keterlambatan progres dalam proses pembangunan Pasar Tempe.

“Contoh lain, IPAL itu di gambar lama 30 kubik. Tapi di gambar baru, 30 kubik itu dibagi dua, ada yang dibelakang ada yang di depan. Kalau begitu otomatis instalasinya berubah juga kan. Otomatis MEP gambar berubah sampai 100 persen karena instalasi yang dulunya cuma satu di depan ini malah ada lagi harus kita buat di belakang. Ini cukup merepotkan, makanya kami banyak keterlambatan,” paparnya. (*)

By admin

Tinggalkan Balasan